“Cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya,tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat keatas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja ,hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya,serta mulut yang akan selalu berdoa”.

(Donny Dhirgantoro - 5 cm)

mar gheall orm

Foto saya
Bandar Lampung, Lampung, Indonesia
kalo lo bilang gue bisa terbang, gue yakin lo bisa menghilang!

Selasa, 25 Oktober 2011

aku cinta kamu.. ternyata!

Aku tidak pernah tahu kalau harus bertemu lagi dengannya dalam keadaan seperti ini

Sebentar, izinkan aku menangis. Ah, sudah... kamu tahu mengapa aku menangis? Aku hanya menunggu kamu datang dan menyeka air mataku. Hanya menunggu kamu untuk bilang “udah deh, jangan nangis. Kamu itu, udah nyebelin, cengeng lagi. Jelek tau!”

Haha, bodoh ya. Buat apa aku menunggu kamu lagi? Untuk apa? Selain buang – buang waktu.

Tiba – tiba martahari sudah kembali ke peraduannya lagi. Lagi – lagi begini, setiap hari. Tanpa kamu.

Tiba – tiba saja malam sudah turun lagi, menepis lembayung yang aku tunggu – tunggu untuk melukis namamu di kaki langitnya. Sial.. aku rindu kamu. Lagi – lagi rindu kamu.

Lalu tiba – tiba pagi datang lagi, dan burung gereja di halaman rumahku masih saja bergumul dengan embun. Tidakkan dingin? Tidakkah mereka inginkan rasa hangat?

Sial.. aku butuh kamu. Lagi – lagi butuh kamu. Di balik kaca jendela yang terselubung embun, aku mengeja namamu, huruf demi huruf, menjadikan jemariku beku karenanya.

Aku mengerejap di subuh selanjutnya. Bukan di tanggal yang sama saat kita bertemu, bukan di detik yang sama saat kamu menumpahkan cappucino panas di atas mejaku. Tentu pula bukan disaat pertama kali aku sadar kalau aku cinta kamu. Kapan aku pernah ingat tanggal – tanggal seperti itu? Tapi... ah, sial.. aku cinta kamu. Ternyata...!

Aku tidak pernah tahu kalau harus bertemu lagi dengannya dalam keadaan seperti ini

Di perjalanan pulang kemarin, sepertinya langit lebih mendung daripada biasanya. Angin menyayat wajahku, lebih dari biasanya. Dingin membungkam bibirku, lebih dari biasanya. Aku rindu kamu, lebih, lebih, lebih lagi daripada biasanya. Dan tiba – tiba aku sadar, sudah delapan delapan tahun berlalu sejak terakhir kamu bernyanyi lagu selamat ulang tahun untukku.

Delapan tahun saat aku sadar aku cinta kamu.

Beranda rumah belum sempat kupijak saat handphoneku bergetar mengiringi lagu klasik kita. Sebuah pesan singkat dan dengan sangat malas aku membacanya.


“Lihsan meninggal minggu lalu”

Tanpa titik, koma atau spasi selanjutnya.

Hanya.. “Lihsan meninggal minggu lalu”


Aku bahkan tidak tahu dimana kamu sekarang. Orang bodoh macam apa yang tiba – tiba mengirimiku pesan dan bilang kalau kamu.... meninggal.

Aku berlari, hujan mengejarku. Aku berlari lebih cepat lagi, dan tanpa komando tiba – tiba saja pipiku basah. Entah ini air hujan, atau... air mata.

Aku berlari ke sebuah bangku taman tempat kita bermain dulu, tempat kamu menulis dua nama dengan ujung pensil yang tumpul “Bhanu - Lihsan”

Aku berlari, ke sebuah gang sempit di dekat pertokoan elektronik dan menemukan dua nama lagi “Lihsan Lituhayu – Bhanu Sadina”

Aku berlari lagi, ke tempat yang mereka sebut pemakaman. Dan aku hanya menemukan satu nama disana, “Lihsan Lituhayu Timora”


Aku tidak pernah tahu kalau harus bertemu lagi dengannya dalam keadaan seperti ini

Sebelum sempat aku bilang kalau... “aku cinta kamu, Lihsan Lituhayu Timora”

Aku tidak pernah tahu kalau harus bertemu lagi dengannya dalam keadaan seperti ini

Di pusaramu saat aku berbincang dengan namamu di nisan kayu “Hey kecil.. Lihsan Lituhayu Timora, jadi istriku ya”

“Lihsan Lituhayu Timora, Bhanu Sadina Bratadikara memintamu jadi pendampingnya, membuka pintu surga di langit sana”

Dan aku tidak pernah tahu kalau harus bertemu lagi dengannya dalam keadaan seperti ini

Semoga kamu mendengarku, seseorang yang hatinya tertaut hanya pada satu cintamu, tanpa keberanian untuk mengungkapkan, bertahun – tahun lamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar