Matahari dan Bulan Merah Jambu
Redup sinar merah jambu menelusup dari celah-celah atap jeramiku, dari balik
sayap kunang-kunang yang menyambut subuh dan terbitnya matahari.
Sinar merah jambu yang memantul
dari serpihan kaca dan menggertak ketermanguanku yang tak pernah habis
memujamu, Sang Bulan Merah Jambu.
Dan disinilah pundi – pundi asaku mulai diikatkan, sebelum bulan merah jambu pulang
dan ufuk timur benderang.
Seumpama matahari subuh yang masih terpaut pada lembut sinar bulan semalaman..
***
Aku menguap seraya
merengganggkan badan, memberi rongga agar udara masuk ke sela rusuk tuaku.
“Selamat pagi”, sapamu dari
balik selimut lusuh yang membalut tubuh kita semalaman. Kusambut sapamu dengan
satu dua belai di legam ikal rambutmu.
“Kau lelah?” tanyaku. “Tidak juga” jawabmu masih dari balik selimut.
“Tidurlah lagi, masih terlalu gelap. Matahari belum datang..” rajukmu,
menggeliat pada tangan tuaku.
“Aku butuh udara subuh. Biar aku keluar sejenak”. Aku memaksa, udara di ruangan
ini membuatku jengah. Kau mempersilahkan namun berpesan agar aku tak membuka
jendela. Kau benci sinar matahari subuh.
Kau selalu menata kamar ini
dengan rapi, dengan vas bunga bening berisi akar rerumputan –yang aku tak tahu
apa namanya. Di dindingnya beberapa hasil goresan kuas di kanvasmu bersanding
angkuh memamerkan auranya. Beberapa cerah, sisanya hitam. Kau bingkai
lukisan-lukisan itu dengan bingkai magismu, kau sebut itu matahari subuh –yang sudah
mati. Pernah aku menjatuhkannya satu sampai bingkainya retak, sedetik kemudian
belatimu meringis di leherku, mengiris epidermisnya tipis-tipis dan tiba-tiba
saja kerah kemejaku jadi merah.
Ah, Matahari Subuh. Dia
menggeser singgasana Bulan Merah Jambu, pantas saja ia terlalu ganas bagimu.
Di tembok beranda lantai empat, kusandarkan alam bawah sadarku, membawanya
hanyut dalam tiap hisapan rokok yang beruap putih dan bau. Bulan Merah Jambuku
di dalam sana, dibalik selimut lusuhnya. Masih tertidur dengan manis dan....
gila.
***
“Kamis pagi, sayang..!”, kukecup
ujung rambut yang jatuh gemulai di lehernya. Dia tertawa geli.
“Aku tidak mengunyah telingamu kok, santai saja..” bujukku.
Dia berbalik memandangku, meletakkan kuas lukisnya di meja kecil berbentuk oval.
“bukankah kau telah menjanjikan kejutan untukku di kamis pagi?”, aku penasaran
setengah mati. Bulan Merah Jambu ini selalu bisa membuatku jatuh cinta sampai
ingin mati.
Dia meletakkan jari tengahnya di bibirku, perintah agar aku mengatupkannya
sejenak untukmu. “sst, tunggu sebentar ya..”, katanya.
Dia beranjak dari kursi kayunya, merogoh ke dalam kotak kecil di bawah meja
oval itu, mengambil kamera.
“Aku sudah menunggunya berminggu-minggu, agar saat aku memotretnya, dia berada
di sudut yang tepat.” Dia tersenyum, menunjukkan gigi-gigi putihnya yang rata
selepas di kikir. Aku berdiri dibelakangnya, melingkarkan lengan di pundak
bidangnya. Aku suka begini, bisa leluasa aku menciumi wangi rambutnya.
Dari kamera itu kulihat dia memotret matahari subuh. Pertama kalinya aku
melihat matahari bulat oranye seindah itu. “Kapan kau mengambilnya, sayang?”,
tanyaku. “Pagi ini. Dari balik rumpun bambu di timur pagar rumah kita.” Dia
sumringah. “Bagus kan? Kau suka?” lanjutnya.
aku mengangguk. “tentu..”
“Nah, sekarang Bulan Merah Jambu punya pasangan, Sang Matahari Subuh.”
***
Itu kamis ke-743 yang kulalui bersamamu. Kuhitung sejak orangtuamu menginjak
dadaku dan mengusirku di hadapan tetangga-tetanggamu. Dia berharap aku adalah
perempuan yang bisa mendampingi puteranya sehidup semati, tapi nyatanya aku
adalah laki – laki. Kau dan aku adalah laki – laki. Kau adalah putera lelaki
satu-satunya di keluargamu. Tak mungkin mereka akan mengusirmu.
Tapi tak kusangka, cintamu padaku lebih besar dari sikap hormat pada ayahmu
yang keturunan Hitler itu. Kau tinju ulu hatinya, lalu kau berlari mengejarku
–dan memelukku di bawah lampu kuning perempatan.
Itu masa lalu, yang bagiku tetap jadi lukisan nyata diantara tumpukan cat, kuas
dan kanvasmu.
Kamis demi kamis di minggu ketujuhratus berjalan seperti biasa, diantar dingin
matahari subuh dan hangat bulan merah jambu. Hingga di kamis ke-802, kau
temukan pil-pil setan di saku mantel hujanku, beserta surat seorang wanita yang
belakangan kau tahu adalah kakak tirimu.
Aku tak tahu apa yang kau pikirkan saat itu, aku tak ingin tahu. Kubiarkan kau
liar menyiram wajahku dengan air panas, kau tampar aku dengan gesper kulit
ularmu.
Dan sejak senja mengakhiri kamis
itu, kau jadi gila.
Kulihat semua lukisanmu kau bakar satu-satu dengan zippoku. Dini harinya tak
kutemukan kau tidur di bahuku, ternyata kau sedang melukis. Satu kanvas
tergores penuh dengan cat hitam, kanvas berikutnya dengan cat merah marun, lalu
biru gelap, begitu seterusnya.
Kau tak lagi mau menoleh saat
kusapa dengan sebutan “Bulan Merah Jambu”. Dan mulai membenci sinar Matahari
Subuh. Benar-benar benci, sampai-sampai tak pernah kau buka tirai kamar kita
–hingga berdebu.
Tak pernah lagi kau bertanya tentang kabarku dan kakak tirimu, pun dia sudah
kucampakkan di gang sempit pinggiran kota. Aku benci dia, dia membuatmu
membenciku.
Ini dosa, aku dihukum oleh cat dan kanvasmu. Dan kutebus hukuman ini dengan
bersamamu sampai kita mati nanti. Tak peduli kau waras atau gila. Karena
mungkin, akulah yang gila. Lebih gila daripada kamu.
***
Geliatmu menggusikku, kau sudah
bangun pasti.
Kumatikan api diujung rokokku yang semakin lama kuhisap semakin membakarku
habis. Aku tak ingin mati konyol di depan hidungmu.
Aku kembali ke kamar.
“sudah.. matahari sudah naik”, ujarku. Kau melenguh panjang.
Kuusap kepala dan pipimu. Sepertinya kau baru saja menangis, entah karena apa.
Aku tak ingin bertanya. Kau rebahkan dirimu di pundakku, kusambut dengan
pelukan erat. Biar saja kita sama-sama gila. Kamu tetap Bulan Merah Jambuku,
tak akan berubah.