“Cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya,tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat keatas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja ,hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya,serta mulut yang akan selalu berdoa”.

(Donny Dhirgantoro - 5 cm)

mar gheall orm

Foto saya
Bandar Lampung, Lampung, Indonesia
kalo lo bilang gue bisa terbang, gue yakin lo bisa menghilang!

Rabu, 25 April 2012

Serenade Tanda Tanya


Kusapa rembulan di separuh subuh
Wajahnya pucat tersenyum mencekat
Kutanya padanya, "Apa kabar damba?"
"Sedang lara", katanya

"Apa kabar rindu?"
"Sedang diburu sendu"
"Apa kabar hati?"
"Hampir mati memamah sepi"

"Apa kabar cinta?
Masihkah penuh canda?
Atau sudah tiada
Mencacah duka"

Kau gemakan tanya berbalas tanya
Gaungkan jawab samar hampir pudar
Getarku tak menyambut puncak penyatuannya

Kau biarkan luka ini kian menganga
Bekukan segala cinta seketika
Terkubur di kuncup duka yang tak jua membunga

Sementara telah habis kau jamah hatiku tanpa sudah
perasaan gue lagi gak enak akhir-akhir ini.
atmosfernya berantakan, dan resultnya adalah... gue menjudge diri gue sendiri dengan hal-hal yang negatif.

salah. gue salah banget.

Jumat, 06 April 2012

Matahari dan Bulan Merah Jambu



Matahari dan Bulan Merah Jambu

Redup sinar merah jambu menelusup dari celah-celah atap jeramiku, dari balik sayap kunang-kunang yang menyambut subuh dan terbitnya matahari.
Sinar merah jambu yang memantul dari serpihan kaca dan menggertak ketermanguanku yang tak pernah habis memujamu, Sang Bulan Merah Jambu.
Dan disinilah pundi – pundi asaku mulai diikatkan, sebelum bulan merah jambu pulang dan ufuk timur benderang.
Seumpama matahari subuh yang masih terpaut pada lembut sinar bulan semalaman..
***
Aku menguap seraya merengganggkan badan, memberi rongga agar udara masuk ke sela rusuk tuaku.
“Selamat pagi”, sapamu dari balik selimut lusuh yang membalut tubuh kita semalaman. Kusambut sapamu dengan satu dua belai di legam ikal rambutmu.
“Kau lelah?” tanyaku. “Tidak juga” jawabmu masih dari balik selimut.
“Tidurlah lagi, masih terlalu gelap. Matahari belum datang..” rajukmu, menggeliat pada tangan tuaku.
“Aku butuh udara subuh. Biar aku keluar sejenak”. Aku memaksa, udara di ruangan ini membuatku jengah. Kau mempersilahkan namun berpesan agar aku tak membuka jendela. Kau benci sinar matahari subuh.

Kau selalu menata kamar ini dengan rapi, dengan vas bunga bening berisi akar rerumputan –yang aku tak tahu apa namanya. Di dindingnya beberapa hasil goresan kuas di kanvasmu bersanding angkuh memamerkan auranya. Beberapa cerah, sisanya hitam. Kau bingkai lukisan-lukisan itu dengan bingkai magismu, kau sebut itu matahari subuh –yang sudah mati. Pernah aku menjatuhkannya satu sampai bingkainya retak, sedetik kemudian belatimu meringis di leherku, mengiris epidermisnya tipis-tipis dan tiba-tiba saja kerah kemejaku jadi merah.
Ah, Matahari Subuh. Dia menggeser singgasana Bulan Merah Jambu, pantas saja ia terlalu ganas bagimu.
Di tembok beranda lantai empat, kusandarkan alam bawah sadarku, membawanya hanyut dalam tiap hisapan rokok yang beruap putih dan bau. Bulan Merah Jambuku di dalam sana, dibalik selimut lusuhnya. Masih tertidur dengan manis dan.... gila.

***
“Kamis pagi, sayang..!”, kukecup ujung rambut yang jatuh gemulai di lehernya. Dia tertawa geli.
“Aku tidak mengunyah telingamu kok, santai saja..” bujukku.
Dia berbalik memandangku, meletakkan kuas lukisnya di meja kecil berbentuk oval. “bukankah kau telah menjanjikan kejutan untukku di kamis pagi?”, aku penasaran setengah mati. Bulan Merah Jambu ini selalu bisa membuatku jatuh cinta sampai ingin mati.
Dia meletakkan jari tengahnya di bibirku, perintah agar aku mengatupkannya sejenak untukmu. “sst, tunggu sebentar ya..”, katanya.
Dia beranjak dari kursi kayunya, merogoh ke dalam kotak kecil di bawah meja oval itu, mengambil kamera.
“Aku sudah menunggunya berminggu-minggu, agar saat aku memotretnya, dia berada di sudut yang tepat.” Dia tersenyum, menunjukkan gigi-gigi putihnya yang rata selepas di kikir. Aku berdiri dibelakangnya, melingkarkan lengan di pundak bidangnya. Aku suka begini, bisa leluasa aku menciumi wangi rambutnya.
Dari kamera itu kulihat dia memotret matahari subuh. Pertama kalinya aku melihat matahari bulat oranye seindah itu. “Kapan kau mengambilnya, sayang?”, tanyaku. “Pagi ini. Dari balik rumpun bambu di timur pagar rumah kita.” Dia sumringah. “Bagus kan? Kau suka?” lanjutnya.
aku mengangguk. “tentu..”
“Nah, sekarang Bulan Merah Jambu punya pasangan, Sang Matahari Subuh.”

                                                                                     ***
Itu kamis ke-743 yang kulalui bersamamu. Kuhitung sejak orangtuamu menginjak dadaku dan mengusirku di hadapan tetangga-tetanggamu. Dia berharap aku adalah perempuan yang bisa mendampingi puteranya sehidup semati, tapi nyatanya aku adalah laki – laki. Kau dan aku adalah laki – laki. Kau adalah putera lelaki satu-satunya di keluargamu. Tak mungkin mereka akan mengusirmu.
Tapi tak kusangka, cintamu padaku lebih besar dari sikap hormat pada ayahmu yang keturunan Hitler itu. Kau tinju ulu hatinya, lalu kau berlari mengejarku –dan memelukku di bawah lampu kuning perempatan.
Itu masa lalu, yang bagiku tetap jadi lukisan nyata diantara tumpukan cat, kuas dan kanvasmu.

Kamis demi kamis di minggu ketujuhratus berjalan seperti biasa, diantar dingin matahari subuh dan hangat bulan merah jambu. Hingga di kamis ke-802, kau temukan pil-pil setan di saku mantel hujanku, beserta surat seorang wanita yang belakangan kau tahu adalah kakak tirimu.
Aku tak tahu apa yang kau pikirkan saat itu, aku tak ingin tahu. Kubiarkan kau liar menyiram wajahku dengan air panas, kau tampar aku dengan gesper kulit ularmu.
Dan sejak senja mengakhiri kamis itu, kau jadi gila.
Kulihat semua lukisanmu kau bakar satu-satu dengan zippoku. Dini harinya tak kutemukan kau tidur di bahuku, ternyata kau sedang melukis. Satu kanvas tergores penuh dengan cat hitam, kanvas berikutnya dengan cat merah marun, lalu biru gelap, begitu seterusnya.
Kau tak lagi mau menoleh saat kusapa dengan sebutan “Bulan Merah Jambu”. Dan mulai membenci sinar Matahari Subuh. Benar-benar benci, sampai-sampai tak pernah kau buka tirai kamar kita –hingga berdebu.
Tak pernah lagi kau bertanya tentang kabarku dan kakak tirimu, pun dia sudah kucampakkan di gang sempit pinggiran kota. Aku benci dia, dia membuatmu membenciku.

Ini dosa, aku dihukum oleh cat dan kanvasmu. Dan kutebus hukuman ini dengan bersamamu sampai kita mati nanti. Tak peduli kau waras atau gila. Karena mungkin, akulah yang gila. Lebih gila daripada kamu.

***

Geliatmu menggusikku, kau sudah bangun pasti.
Kumatikan api diujung rokokku yang semakin lama kuhisap semakin membakarku habis. Aku tak ingin mati konyol di depan hidungmu.
Aku kembali ke kamar.

“sudah.. matahari sudah naik”, ujarku. Kau melenguh panjang.
Kuusap kepala dan pipimu. Sepertinya kau baru saja menangis, entah karena apa. Aku tak ingin bertanya. Kau rebahkan dirimu di pundakku, kusambut dengan pelukan erat. Biar saja kita sama-sama gila. Kamu tetap Bulan Merah Jambuku, tak akan berubah.