“Cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya,tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat keatas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja ,hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya,serta mulut yang akan selalu berdoa”.

(Donny Dhirgantoro - 5 cm)

mar gheall orm

Foto saya
Bandar Lampung, Lampung, Indonesia
kalo lo bilang gue bisa terbang, gue yakin lo bisa menghilang!

Rabu, 27 Oktober 2010

what the fool (1)

Let we see..

WHAT THE FOOL..!
gila, ini blog kok isinya gaje banget.. haha


kapan gw bisa posting blog dengan baik dan benar??

hm..
blog ini masih tetep jadi kotak sampah gw.
isinya.. tumpahan isi kepala yang kadang" overload. gyahaha

hm.
sedikit cerita, akhirnya gw bisa menjalani masa masa SMA gw dengan normal.
jadi anak baik.. (meski masih banyak "ancur" nya), have a great score (kecuali Mate-me-matika-n), aktif di kegiatan, pengurus eskul (realized sekarang gw bukan ketua lagi *mewek*).. dsb dsb..

hohoho..

isi kamar gw juga mulai normal..
agaknya populasi komik mulai tersingkir dari kamar gw. itu meja belajar (yang gak pernah dipake buat belajar) mulai dihiasi dengan bunga *azee..
bunga hidup buat pengharum ruangan (akhirnya kamar gw bisa wangi juga)
trus ada frame foto gw. *shuuuut!! guys, gw majang foto gw sendiri!
>> ok, gw jelasin, itu foto SISA karena gw kebanyakan ngeprint buat ngirim naskah lomba cerpen nasional.

ada tumpukan novel di meja (bukan TEENLIT!!) * gw mulai belajar nabung. abis.. gw bikin targetan harus beli minimal satu buku tiap bulan. 5 bulan ini masih berhasil.. nyehehehehehe

tetep, kotak ukiran isi aksesoris" gajelas. *gak jelas, tapi gw kumpulin karena gw suka. haha

dan tetep! yang paling gw cintai, laptop kuu~..

haha. lemari di kamar mulai rapi.
gw nyusun baju baju itu rapi..
yang gaun dan long dress, vest, rompi" vintage, jilbab.. di gantung pake hanger.

yang jaket, jeans, rok panjang, kaos, kemeja, seragam sekolah, sampe piyama (!) juga gw susun rapi.
lemariku wangi sekarang ~~

trus ada sudut yang isinya tumpukan barang" (sepatu semua), masih pada di taro di kotaknya dan di plastik belanjanya.. banyak.. dan ini salah satu yang buat gw shock..
sejak kapan gw jadi SHOPAHOLIC!

hiih.
gw menemukan banyak banget struk belanja di dompet..
ternyata dompet gw tebel karena struk belanja. hahaha

udah ya, ntar lanjut.
yon sensei masuk, mo blajar bahasa jepang dulu.

jaa ne!!

hujan..

hujan..
kenapa kamu g berhenti juga?
aku sendirian disini.
maksudku, aku tahu tempat ini ramai, tapi rasanya sendirian.

hujan, tolong berhenti, sejenak saja.
aku kedinginan.
aku benar - benar kedinginan.

ya, aku suka hujan.
tapi hujan, aku mau pulang
aku mau ketemu orang - orang yang kucintai disana

tapi hujan, kamu juga pasti tau
di tempat itu g ada sseorangpun sekarang
rumah itu terasa sangat luas, sepi, sunyi
kaya' g ada penghuninya

hujan, aku suka hujan
aku seneng banget tiap kali hujan turun,
rasanya berkah hujan turun bersama para malaikat
dan rasanya tenang banget
tenang banget unuk curhat sama Ar Rahman

hujan, suasana hujan memang bikin anak manusia ini makin melankolis
hha.
duh, hujan.. kok malah semakin deras sih?
kapan hujan berhenti?

hujan, kamu tampak seperti airmata langit saat ini
wah.. langit nangis ya?
langit, jangan nangis dong.
airmata yang ada disini jadi semakin berderai kalau langit nangis..

hujan, aku lagi dengerin I talk to the Rain lho..
semoga hujan bisa membantu menyapu debu di hatiku ya..
meski sedikit.

haaah, hujan...

shiro~



cakeeeeeep kaaaaaaaaaaan..... :)
:D

hanya bagi yang ingin membaca..

hanya bagi yang ingin membaca..



aku lupa sejak kapan tulisan ini ada di laptopku..

hm.. tenang aja, aku nulis note ini, bukan supaya kamu tau tenang semuanya. dan jika saja takdir membawamu pada note ini, semoga kamu gak sadar kalau yang kutilis ini.. semua tentang kamu.



................



Mungkin aku terkesan melankolis banget, norak, atau bahkan ngejiji’in.

But it for sure, i wanna say.

Seumur hidupku, baru kali ini aku merasakan kasih sayang yang begitu dalam. Rasa sayang yang ingin senantiasa kupersembahkan untukmu.

Aneh ya, kenapa bisa?

Kontribusi apa sih yang pernah kamu kasih sampe aku sebegitu sayangnya?

Aku juga gak tau, kenapa kamu jadi begitu berharga, sejak kapan kamu masuk ke duniaku dan membuat semuanya berubah.



Awalnya aku gak mau peduli, aku gak mau hati ini jatuh pada siapapun dulu. Aku Cuma ingin menikmati kehidupanku “sendirian”. Tapi begitu ada kamu, kehidupan yang “sendirian” itu gak terasa menyenangkan lagi.

Aku terus coba untuk menyimpan rasa ini, bahkan gak pernah berharap kamu tau apalagi untuk bisa ada di samping kamu. Gak sama sekali.

Sampai hari itu datang, kamu sendiri yang bilang, kalau kamu sayang sama aku.

Aku gak pernah menyangka kamu bakal bilang itu. Bayangin pun nggak.



Kamu tau gimana rasanya?

Hahaha, aku gak ketawa, aku gak melonjak senang, aku gak tersenyum. Tapi aku menangis. Apa aku terharu? Gak tau..

Yang pasti ada rasa sedih, waktu aku bilang.. ’maaf.. – maaf atas semua yang telah aku berikan sampai kamu bisa sayang juga sama aku –’



Kalau kalian pikir aku tipe cewek yang bisa dengan mudah suka sama orang dan dengan gampang nerima kalau di tembak, kalian salah besar.

Aku mudah berteman dengan banyak orang, tapi aku gak mudah jatuh cinta.

Tapi... sekali aku jatuh cinta, aku gak akan melepaskan cinta itu. Aku gak peduli dia tau atau tidak tentang perasaanku, aku hanya tau, bahwa aku mencintainya.

Itulah yang terjadi saat ini. Aku gak ingin kamu tau kalau aku telah jatuh cinta sama kamu, aku hanya ingin menjaga cintaku buat kamu. Dan jika Tuhan mengizinkan, aku ingin cintaku untukmu gak pernah hilang.

Dan jika aku boleh berdo’a, aku ingin suatu saat nanti bisa bersanding di sampingmu dalam sebuah bahtera kehidupan. Hanya jika Tuhan mengizinkan.



Aku gak pernah bisa melupakan semua yang pernah terjadi, gak bisa. Aku gak bisa merasakan kebahagiaan dengan orang lain seperti aku bahagia denganmu. Meski hanya membaca namamu, aku bahagia.

Kamu telah menyihirku ya?



Kalau saja kamu tahu, aku gak berharap kamu ada untukku, aku gak berharap kamu jadi milikku. Apapun yang terbaik untukmu, yang membuatmu bahagia, yang menjadikanmu lebih baik, pasti akan kulakukan.

Atau mungkin jika kau diberi kesempatan untuk mendengarkan isi hatiku, kumohon jangan pikirkan apapun.

Aku ingin kamu menjadi seperti yang kamu inginkan.

Bagiku cukup kamu bahagia. Cukup kamu gak menangis lagi.

Aku bahagia.

Aku berterimakasih..

Tuhan, terimakasih Kau telah mengizinkanku menyayanginya. Terimakasih.. meski Kau belum memberiku kesempatan untuk bersamanya.

Dan kamu.. terimakasih..



terimakasih telah membuatku jatuh cinta.

Senin, 25 Oktober 2010

latihan debat.

yap, kegiatan rutin tiap hari.
in order mau ikut lomba debat bahasa indonesia di Universitas Indonesia , dari 8 sampai 16 november..

do'ain...
do'ain...

Rabu, 20 Oktober 2010

Pemerintah Indonesia ke Yunani

"PEMERINTAH INDONESIA BERENCANA PERGI KE YUNANI UNTUK BELAJAR ETIKA"


apa apaan itu?
mau ngebo'ong kok jelas banget katauan bo'ongnya.
kalo mau nipu itu yang bagusan dikit.. agak pinter dikit kenapa sih?? geez.

halah.. dasar..

Selasa, 12 Oktober 2010

L.O.V.E of My Life

ini cerpennya.
hahaha.

give it comment yah.

“wahai putraku tercinta, Atalla ku sayang, Ibu sayang Atalla..”
~fin~


L.O.V.E of My Life

Sering kali ku berpikir, mengapa aku berada di tempat ini. Mereka menjawab ‘takdir’.
Begitupun ketika aku berbisik pada angin ‘mengapa Ayah dan Ibu berpisah saat usiaku masih bocah?’ Jawaban mereka sama, takdir.
Lalu mengapa Ibu membuangku ke sebuah pesantren nun jauh, hingga aku hampir lupa wajah Ibu. Hingga entah aku masih ingat memiliki seorang Ibu atau tidak.
Mengapa aku harus dirawat oleh seorang wanita tak kukenal yang kupanggil ‘Umi’. Padahal aku tahu dia bukan Ibuku, aku memang merasakan cinta darinya. Sungguh itu berbeda. Namun apalah arti cinta Ibu. Apa Ibu pernah mencintaiku?
Aku menatap nanar rintik hujan dari balik jendela pesantren. Di beranda ikhwan – ikhwan muda berlalu lalang, sedikit berlari dan sesekali bersorak. ‘perahuku sampai lebih dulu! Yeey!’. Binar mata yang menyembunyikan suramnya hujan sore ini. Aku merindukan sesuatu, aku ingin Ibu.
Derap langkah kaki memenuhi ruang dengarku, dia datang. Aku sesegera mungkin menghapus sisa airmataku. Berharap dia menemukanku dalam keadaan baik – baik saja. “Atalla, kamu baik – baik saja, sayang?” sapanya. “iya Umi” aku tersenyum memaksa. Dia mengusap kepalaku lembut, menebarkan senyumnya. “Umi, apa Ibu kandung Atalla sayang sama Atalla?” tanyaku. Dia terdiam sejenak “percayalah, Ibu kandungmu pasti sangat menyayangimu..” dia memelukku sekarang. Aku ingin bertanya sekali lagi ‘apakah Ibu kandungku masih hidup??’ jika ya, mengapa dia tidak pernah memberi kabar atau sekedar menanyakan kabarku?
Seminggu berlalu sejak terakhir kali aku menangis. Pagi yang mengejutkanku, seorang wanita datang, memberi tahuku bahwa hari itu aku akan meninggalkan pesantren. Umi berdiri di depan pintu kamarku, lalu masuk saat aku menyadari keberadaannya, ia membantuku berkemas. Tidak jelas apa yang dirasanya, lebih tepatnya aku tidak mengerti. Umi tersenyum, Umi menangis.
“La, hari ini kamu dijemput” ujarnya. “siapa yang jemput, Mi?” aku heran. “kamu tahu sendiri nanti.” Umi memakaikan ransel ke pundakku “hati – hati ya nak.” salamnya. “apa Talla masih bisa kembali kesini lagi, Mi?” tanyaku lagi. Umi tersenyum “kalau Atalla sempat, berkunjunglah kesini.” ia menghapus airmatanya lagi. Menuntunku segera pada sosok wanita yang menungguku di gapura pesantren. Saat itu aku berusia 9 tahun. Saat seorang wanita datang padaku dan berkata “kau mirip sekali dengan dia”
Aku baru tahu wanita yang kutemui di hari itu adalah Ibuku, Ibu kandungku. Ternyata aku masih memiliki Ibu. Seketika kenangan yang sudah kukubur dalam bangkit kembali, membuat shock melandaku sesaat. Aku hampir melupakan semuanya. Tentang Ayah yang tak seiman dengan Ibu, dengan semua kenangan pahit Ayah dan Ibu, suara tamparan di pipi Ibu, gelegar bentak Ayah pada Ibu. Ah, aku begitu ingin membuangnya, sangat! Aku tak tahu apa sebabnya pipiku basah saat wanita itu ada di hadapku, aku pun tak mengerti mengapa jantungku sakit saat ia memelukku. Padahal pelukan itu tak erat. Atau mungkin ini adalah rindu, adalah rindu seorang anak pada Ibu yang telah tujuh tahun tak ditemuinya. Mungkin juga ini adalah kali pertama ada kehangatan dari seorang Ibu kandung – yang dapat kurasa. Mungkin. Aku begitu bahagia saat itu, meski awalnya aku tak mengerti apa yang terjadi. Inilah hasil pesantren, anak lelaki yang pendiam, tenang, dan tanpa ekspresi. Namun wajah ini berubah sendu seketika, aku tersedu menyambut peluknya. ”Atalla, kita pulang, nak..”
Kuharap hari itu menjadi awal langkahku, di sebuah bahtera kehidupan baru. Yang bahagia. Bahagia bersama Ibu. Tapi aku salah, kasih sayang yang kuharapkan tidak pernah terwujud.
Pelukan itu, aku masih mengenangnya, sekali lagi menyimpannya rapat dalam hatiku. Kasih sayang sederhana yang pernah kuterima dari Ibu.
Beberapa bulan setelahnya, kulihat Ibu mengenakan gaun pengantin, Ibu menikah? Ya, untuk yang kedua kalinya. Dengan seorang pria yang kemudian kupanggil dia ‘Ayah’.
Dia pria yang baik. Dia ramah padaku. Dia juga menyayangiku, meski dia Ayah tiriku. Dia tetap Ayahku sekarang. Tapi sebaik apapun Ayah padaku, aku tetap tidak suka. Karena Ibu lebih memperhatikan Ayah dibanding aku, Ibu lebih peduli padanya dari pada aku. Ibu selalu bersikap acuh padaku tidak hanya terjadi satu kali, tapi berulang kali. Banyak hal berkecamuk disini, pertanyaanku yang paling ekstrem, ‘apa beliau benar Ibu kandungku?’
Tak lama setelahnya, Ibunda mengandung. Adikku. Sosok yang sangat mereka nantikan, yang bahkan namanya dipersiapkan dengan istimewa, tak seperti namaku yang singkat. Segalanya sempurna bagi janin di rahim Ibu. Hingga yang ditunggu dengan penuh kasih dan penantian itu menghirup udara dunia, bayi perempuan mungil nan cantik, adik tiriku. Jaza Qalila Jacob.
Kelahiran malaikat kecil itu semakin membuat Ibu lupa padaku, Ibu membesarkannya dengan penuh cinta dan kelembutan. Tak seperti aku yang dibesarkan dangan tekanan, tuntutan, proteksi, dan segala macam kekerasan tanpa sedikit dukungan pun. Ibu seakan membedakan aku dengan adikku.
Bu, aku juga anak ibu.. aku butuh cinta ibu.
Qalila tumbuh dengan sewajarnya, sehat, ceria. Namun Ibu seperti membentangkan tembok tak kasat mata antara kami. Aku mengerti dia adikku, aku tak peduli dia menganggapku kakak atau tidak. Ada kalanya aku ingin bersamanya, mengajaknya bermain, bercanda. Meski Ibu tak pernah mengizinkanku untuk itu. Aku membuat kesimpulan atas sistem ciptaan Ibu, mungkin karena Ibu memang lebih menyayangi Qalila, karena Qalila adalah anak kandung Ibu dan Ayah tiriku. Mungkin juga karena aku dan Qalila adalah saudara tiri, yang tak cukup pantas untuk dekat. Atau mungkin karena usia kami terpaut jauh, delapan tahun. Atau Ibu takut terjadi hal yang tak diinginkan antara kami, tak perlu dijelaskan apa itu. Memang aku dan Qalila secara fisik sama sekali tak tampak seperti kakak adik, wajah kami sama sekali berbeda. Semua hal itu akhirnya turut mengubahku, aku sangat menjaga jarak dengan Qalila. Mungkin juga karena kini aku remaja 17 tahun yang sudah punya dunia sendiri yang lebih membuatku bahagia. Tapi tetap saja, aku ingin mendapat kasih sayang dari orang tua, layaknya Qalila. Terkadang rasanya ingin kukatakan pada mereka bahwa aku juga butuh dukungan mereka. Aku ingin marah. ‘Orang tua macam apa itu? Orang tua kok membuat pesimis anaknya..’
Aku iri pada Qalila, juga pada anak – anak lain. Mereka yang memiliki sosok orang tua yang sangat menyayangi dan mendukung mereka. Memberikan kebebasan untuk memilih apa yang diinginkan anak – anaknya. Apa aku pantas merasa iri? Tiada hari tanpa sinisme Ibu padaku, aku tak mengerti. Mungkin karena semakin aku beranjak dewasa, wajahku semakin mirip dengan dia yang pernah menyakiti Ibu, sosok yang sangat dibenci Ibu. Yang (dulu) selalu ingin merebutku dari Ibu. Ayah kandungku. Dari sisa – sisa lama, aku tahu aku memang sangat mirip dengannya. Mungkinkah ini faktor yang membuat Ibu begitu tak menyukaiku? Memang apa salahku? Apa salah aku memiliki wajah serupa dengan Ayah kandungku? Apa salah jika aku terlahir seperti ini? Bukan inginku terlahir seperti ini, aku tak pernah meminta untuk dilahirkan begini. Seandainya bisa memilih, aku ingin terlahir dengan keadaan yang lebih baik, hidup dalam satu keluarga utuh yang harmonis, keluarga yang melimpahkan dukungan, kehangatan dan kasih sayang. Namun aku tidak diberi hak untuk memilih kehidupan yang kuinginkan.
Aku selalu berusaha menjadi yang terbaik, yang terbaik bagi Ibu, bagi semua orang di sekelilingku. Aku selalu berusaha melakukan hal yang membuat mereka tersenyum bangga. Namun mengapa di mata Ibu aku selalu tak berguna? Seperti aku hanyalah manusia lemah yang tak bisa apa – apa. Ibu tak pernah memberiku kesempatan untuk membuktikan bahwa aku bisa. Aku ingin Ibu mengerti betapa ingin kupersembahkan semua hal terbaik untukny. Namun mengapa dalam pandangan Ibu semua yang kulakukan itu sia – sia? Aku ingin Ibu mengerti, tolong beri aku kesempatan untuk merasakan dukunganmu.
Hari itu tiga hari menjelang 22 desember. Hari Ibu. Beberapa anak kulihat cukup sibuk mempersiapkan kejutan bagi Ibunda mereka. Sempat terbesit di pikirku, bagaimana bila aku juga memberikan sesuatu untuk Ibu? Tapi apa Ibu akan menganggap itu penting? Apa Ibu akan senang menerimanya. Saat pikirku melayang membayangkan reaksi Ibu, aku teringat kembali dengan Ibu yang tak pernah tampak bahagia menerima segala pemberianku.
Hingga dia datang padaku dan membangkitkan kembali semangatku yang hampir padam. Anak yang aneh. Aku tak tahu mengapa aku bisa begitu percaya padanya. Kurasa dia pun demikian. Baru kali ini ada yang begitu memperhatikanku, yang bisa duduk di sampingku, mendengar segala keluh kesahku, memberiku semangat, membuatku tersenyum. Dia mengajariku untuk belajar menerima dan terus berjuang, termasuk merebut cinta Ibu. Dia membuatku merasakan suatu perasaan berbeda.
Aku mengenal anak ini sejak tahun ajaran baru dimulai, satu tahun yang lalu. Saat itu dia adalah siswa baru di sekolahku. Entah sihir apa yang dia lakukan padaku, hingga aku bisa begitu mempercayainya dan menceritakan tentang masa kecilku padanya, termasuk tentang seorang yang kusukai –kini ia sudah jauh dariku–. Tentu saja aku tidak menceritakan semuanya, tak banyak. Aku anak broken home, aku menyukai kakak kelasku padahal dia telah terikat pada orang lain. Hanya selintas. Dan anak itu tampak iba melihatku, meski aku tak sudi dikasihani.
Lama waktu berselang, dia sangat memperhatikanku, aku tahu alasannya ; dia iba padaku. Sekali lagi meski aku tak sudi dikasihani, tapi aku berterimakasih. Kami menjadi teman yang cukup akrab, bahkan seperti kakak dan adik. Perlahan detik bergulir, sedikitnya aku mengerti ini salah, aku menganggapnya lebih dari sekedar adik. Ini kali pertama aku begitu mempercayai seseorang. Walau berulang kali kukatakan pada diri ‘jangan mudah percaya pada orang lain. karena dunia itu kejam. Karena di dunia ini kita hidup ‘sendiri’. Aku sangat bahagia bila ia ada di sampingku, bila ia memperhatikan setiap langkahku, aku bahagia mendengar ucapan – ucapannya padaku. Dia mengerti aku. Apa boleh kukatakan bahwa aku sangat menyayanginya? Apa aku telah melupakan gadis yang dulu diam - diam kusukai? Apa kini aku jatuh hati padanya? Aku tak tahu, yang kutahu, aku hanya tak ingin dia pergi dariku. Bagiku ini adalah satu hal ajaib yang pernah kualami, oh.. ini toh rasanya didukung.. oh, ini toh rasanya disemangati.. oh.. ini toh yang namanya kasih sayang..
Aku tak mengerti apa itu cinta, Ibu tak pernah mengajarkanku tentang mencintai, atau dicintai.
Tapi tidak dengan dia. Namanya Enja, seorang yang telah membuatku jatuh cinta.
Tapi di satu sisi ketika aku sudah sangat menyayangi Enja, Zinnia, gadis yang dulu pernah kusukai kini kembali. Aku masih memiliki rasa padanya, tapi itu sudah samar. Tentu saja sulit melupakan seorang yang pernah -sangat- kau sukai. Aku bingung ketika dia berkata bahwa dia meninggalkan kekasihnya karena aku, karena dia jatuh cinta padaku. Aku begitu egois, aku merasa senang mendengarnya, karena yang dulu kucintai kini membalas rasaku itu. Aku senang, sekaligus sedih. Namun aku tak mungkin memungkiri hatiku kini, bahwa ada yang lain yang sangat kusayangi. Aku bercerita pada Enja, dia menanggapinya sederhana, Enja sangat menghormati aku dan Zinnia, dia tidak menampakkan sedih yang dirasakannya, dia justru mendukungku untuk mendengar kata hatiku, untuk menjadi diriku sendiri. Zinnia mengetahui isi hatiku, bahwa aku sangat menyayangi Enja begitupun sebaliknya. Zinnia seorang yang temperamental, karenanya ia begitu marah pada Enja yang tak pernah memberitahunya tentang semua itu, hingga pada akhirnya ia memilih untuk pergi (lagi) meninggalkanku. Maaf, aku tak sanggup mengatakannya, hatiku berbicara, bahwa pada akhirnya kujatuhkan hatiku pada dia yang selalu ada di sampingku, yang menyemangatiku, dia yang mengajariku tentang kasih sayang dan kepercayaan. Aku memilih Enja.
22 Desember, pagi hari. Kulihat Ibu sedang bersama Qalila di teras rumah, kudekati ia. Setangkai mawar untuk Ibu tersembunyi di balik tubuhku. Belum sempat aku berucap kata pada Ibu, ia lebih dulu berpaling padaku, ekspresinya dingin sekali. Lagi, Ibu marah padaku. Ia marah karena aku terlambat bangun pagi. Ya, hari itu aku terbangun pukul empat pagi, terlambat satu jam dari jadwal yang Ibu tentukan. Aku tertunduk menikmati amarah Ibu. Sesekali melirik kearah Qalila yang masih lengkap dengan piyama dan wajah bangun tidur yang belum terbasuh air. Mengapa Ibu tak memarahi Qalila? Padahal dia terbangun lebih siang dibandingkan aku. Kubentak diriku, ‘bodoh! Kau membuat Ibu marah lagi. Dasar kekanakan! Untuk apa kau iri pada adikmu?! Dia masih tujuh tahun, tak pantas kau iri padanya!’
Kutinggalkan Ibu yang masih menatapku dingin. Kembali ke kamarku, menutup pintu, menguncinya rapat. Kubanting mawar itu ke lantai kamar, kuinjak – injak bunga itu. Aku tahu bukan bunga itu yang salah. Tapi ini salahku. Sayup kudengar Qalila berucap pada Ibu ‘eh... selamat hari Ibu ya bu... ‘ nadanya ceria sekali. Kemudian diiringi tawa renyah Ibu. Aku iri, aku benar – benar iri. Sudahlah... buat apa aku iri? Buat apa aku merasa sedih? Aku sudah terbiasa dengan kemarahan Ibu. Sangat terbiasa. Malamnya aku menghubungi Enja, bercerita tentang ‘kisah hari Ibu’ku. Dia mendengarkan, lalu mendesah pelan. “jangan sedih ya..” ujarnya. “hhaha, gak kok. Aku gak sedih, udah biasa.” elakku.
“aku tahu kamu sedih, jangan ditutupi ah. Menutupi kesedihan agar orang lain tidak ikut bersedih itu baik. Tapi menyembunyikan kesedihan yang jelas terpancar justru akan membuatmu semakin tampak menyedihkan. Aku gak suka kamu begitu” kata – katanya membuatku ingin merasakan kehadirannya langsung di sampingku, bukan hanya sayup suara dari telepon genggam. Dia menyemangatiku lagi.
Entah kapan aku bisa memiliki ‘Ibu’. Entah kapan aku bisa merasakan kehadiran ‘Ibu’. Aku tak pernah bisa membayangkan merasakan itu semua. Terlalu munafik jika kukatakan aku tak butuh itu.
Detik di jam dinding tak pernah mau berhenti dan menunggu. Ya, waktu selalu bergulir, tak peduli pada keadaan seperti apapun. Waktu itu egois. Tak terasa kini aku bukan lagi siswa SMA. Aku telah lulus dengan nilai baik, inilah detik – detik persiapan menjadi mahasiswa. Aku ingin sekali melanjutkan pendidikanku ke salah satu universitas terbaik di Indonesia, di Jakarta. Aku yakin aku mampu untuk itu. Tapi lagi – lagi Ibu tak sependapat denganku. “buat apa kamu ikut tes itu? Sudahlah, kuliah di sini saja. Kamu sudah lulus PMKA kan di sini”
“tapi bu, apa salahnya aku coba untuk kuliah di universitas yang lebih bagus..”
“salah! Ibu bilang ndak usah ya berarti kamu ndak perlu ikut tes – tes begitu! Kamu ndak akan diterima!”
“aku yakin kok bu, aku bisa. Masa’ Ibu gak dukung aku..?”
“Ibu kan sudah bilang, kamu itu ndak mungkin bisa kuliah disana. Ndak mungkin kamu diterima. Jadi kamu ndak perlu ikut tes itu, buang – buang waktu. Percuma”
“tapi bu.. aku mau coba. Aku mau buktiin kalau aku bisa, bu”
“mau kamu mohon – mohon sama Ibu, Ibu ndak akan izinkan kamu ikut tes itu!”
“bu.. tolong..”
“Ibu bilang tidak ya tidak! Kamu jadi anak jangan bantah! Nurut saja!” Ibu mulai emosi lagi, aku maklum. Aku tak putus asa membujuk Ibu agar mengizinkanku ikut tes itu. Akhirnya Ibu mengizinkanku tepat dua hari sebelum hari pelaksanaan tes. Aku cukup senang, meski izin itu –kutahu– Ibu tak memberinya dengan ikhlas. Ya, ketidaksetujuan Ibu terbukti. Aku gagal. Bukan kegagalan itu yang membuatku sedih, melainkan kata – kata Ibu yang tebukti benar adanya. “kamu itu ndak mungkin bisa kuliah disana. Ndak mungkin kamu diterima. Jadi kamu ndak perlu ikut tes itu, buang – buang waktu. Percuma!”. Tak ada gunanya tanpa restu orang tua. Kuterima apa adanya, aku harus bersyukur, cukup. Aku tak perlu bermimpi bisa melanjutkan ke perguruan tinggi ternama. Meniti langkah selanjutnya di universitas dalam kota pun tak masalah.
Aku berpikir sejenak, aku ingin membantu Ibu memenuhi biaya kuliahku. Jika aku berhasil mendapatkan beasiswa, pasti beban Ibu akan sedikit berkurang. Beberapa hari lalu aku mendapat tawaran beasiswa dari universitas di kotaku, namun aku mengalihkannya ke universitas impianku itu, dengan harapan jika aku berhasil lolos seleksi, aku bisa kuliah dengan beasiswa disana. Namun pada kenyataannya kata – kata Ibu terbukti ‘Ndak mungkin kamu diterima’. Apa boleh buat, beasiswa itu hangus begitu saja. Sekarang aku mulai mengumpulkan semangatku lagi, aku kembali berusaha mencari beasiswa. Siang itu, kucoba utarakan maksudku pada Ibu, tapi lagi – lagi Ibu tidak mendukungku. “buat apa kamu repot – repot cari beasiswa? Sudah, ndak akan dapat. Sudah ndak ada penawaran beasiswa lagi”
“yah, tapi kan gak ada salahnya mencoba bu”
“mau coba bagaimana lagi, kamu ndak akan berhasil dapat beasiswa, sudah ndak ada lagi.”
“Ibu.. kata – kata itu sebagian dari do’a, jangan bilang gitu dong bu”
“kamu ndak akan dapat kesempatan untuk beasiswa lagi! Di omongin orang tua kok ngeyel”
Aku tentunduk. Ibu, kenapa sih gak pernah bisa dukung aku...?!
“sudah, sudah. Biarlah bu, biar dia lakukan apa yang dia mau. Jangan ditekan terus..” Ayah angkat bicara. “bapak kok belain dia?! Salah dia sendiri kenapa tawaran kemarin dia alihkan, hangus kan jadinya!” Bertengkar. Selisih paham lagi, seperti perang antara iblis dan malaikat. Ayah memang baik padaku, meski dia Ayah tiriku, ia lebih menyayangiku dibanding Ibu. Aku menghormatinya,
Tapi tetap saja, rasanya jauh berbeda. Apa karena ia Ayah tiriku? Memangnya salah apa jika ia hanya Ayah tiriku? Apa Ayah kandungku menyayangiku lebih dari dia? Aku tak bisa menjawab semuanya. Kutinggalkan kedua orang tuaku yang sIbuk di dunia pertengkaran mereka, aku keluar dari rumah.
Aku pergi ke sekolah, fasilitas hotspot tersedia disini. Kubuka notebook mini yang kudapat sebagai hadiah pemenang lomba cepat tepat. Memfokuskan diriku pada layar monitor di hadapanku, mencari informasi beasiswa. Dan tak satupun kutemukan. Entah mengapa iblis dalam diriku bangkit seketika. “Tuhan, mengapa Kau selalu mendengar do’a Ibu sedangkan tidak denganku? Mengapa selalu Kau kabulkan do’anya namun tak pernah sekalipun kau kabulkan do’aku?!! Sebegitu sulitnyakah permohonanku, Tuhan?!” Tak sadar, suaraku cukup menggema kala itu. Aku menghela napas panjang, tertunduk. Di sini sepi, biasanya masih banyak siswa yang aktif mengikuti ekstrakurikuler, atau sekedar berlalu lalang menunggu orang tua menjemput, tapi hari ini tidak ada siapa – siapa. Masih pukul empat sore, tapi rasanya sunyi sekali. Itu yang terekam di inderaku.
“Tuhan itu Maha Adil.” samar suara lembut menyapaku dari arah kiri, dia menyelinap di antara sepi. Sekepal tangan kecil meninju pundakku lemah. Suara itu miliknya, penyemangatku. “kamu gak boleh menyerah, Tuhan selalu memberikan ujian bagi hamba-Nya , itu tandanya Dia sayang sama kita. Dan Dia gak akan memberikan suatu ujian yang gak sanggup kita lalui. Tuhan selalu memantau kita dari singgasana-Nya” Enja tersenyum padaku. Dia benar, aku tertunduk malu. “cerita aja, lepaskan semuanya. Aku siap menjadi pendengar yang baik” lanjutnya masih dengan senyuman. Dia mengambil posisi di sebelah kiriku, duduk, siap mendengarkan. Dan semuanya tertuang begitu saja. Meluncur mulus dari wicaraku, aku menceritakan semuanya.
“yah, aku tahu. Rasanya menyesakkan, kan?” ujarnya, aku mengangguk, dia menghela napasnya. “maaf ya, mungkin kali ini aku gak tau harus gimana..” lanjutnya, dan aku masih diam.
“tapi.. ada satu kata yang aku yakin gak akan pernah kamu lupa.” matanya sedikit berbinar manatapku. “SEMANGAT!” ujarnya seraya mengepalkan tangan kanannya. “‘remaja yang penuh semangat’ gak boleh sedih ya! meski sulit, tapi aku yakin kamu bisa!”
Aku tersenyum. ‘remaja yang penuh semangat’, itu arti namaku, arti dari nama singkat yang dihibahkan Ibu padaku. ‘Atalla’.
“kan masih bisa ikut SNMPTN..” ujarnya seraya berdiri, melambaikan tangan lalu meninggalkanku.
Aku berpikir cukup lama tentang itu, yah.. apa bisa aku ikut SNMPTN tanpa diketahui Ibu? Mungkin beginilah anak laki – laki, batinku bilang ‘kita tidak akan tahu sebelum mencoba’. Bukan karena Enja, hanya saja aku ingin mengikuti tes ini. Dengan modal ‘yakin’ dan bantuan beberapa teman, aku mengikuti SNMPTN. Pada hari pelaksanaan, kukatakan pada Ibu bahwa ada Try Out dari bimbingan belajar yang kuikuti, tentu saja aku tidak bilang bahwa hari itu adalah hari seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri. Ada rasa bersalah menghantuiku, Enja bilang itu wajar. Sisa hari – hari kulalui dengan sewajarnya, Ibu yakin yang kupilih adalah universitas di kotaku. Kukuatkan diriku, hingga hari pengumuan tiba. Awalnya aku sedikit gugup, takut jika nomor ujianku tidak tercantum pada daftar mahasiswa baru, tapi aku harus tahu hasil geriliyaku. Kuhela napasku panjang, aku tidak percaya ini. Namaku tercantum di web page. Aku diterima.
Aku tersenyum, mataku berkaca – kaca. Entah ini haru, atau aku sedih. Aku bahagia diterima. Tapi sekali lagi, ini tanpa sepengetahuan Ibu. Aku melangkah pulang. Ibu menemukanku yang berdiri di depan pintu dengan wajah tertunduk lemah. Aku ceritakan semuanya pada Ibu. Aku sudah siap menikmati amarah Ibu. Ya, Ibu marah. Tapi yang terjadi sungguh di luar dugaanku. Ibu marah seraya memelukku erat. Sekarang aku mengerti, airmata yang bergulir di pipiku adalah airmata haru.
Aku bisa mendengar suara Ibu yang berat, serak tercekal, Ibu belum ikhlas membiarkanku pergi. Bukan kata – kata halus yang mengiringi keberangkatanku, tapi lagi – lagi amarah Ibu. Ibu tidak ikut menghantarku pergi. Meski aku terus menunggu kedatangan Ibu.
“Atalla, bus sebentar lagi berangkat. Masih mau nunggu Ibu?” Enja memecah lamunanku. Aku mengangguk. “Kamu tau gak apa yang aku pikirin?” tanyanya. Aku menggeleng. “Pasti Ibu sedang mikirin kamu sekarang. Mungkin dia sedang menangis karena harus melepas putra tersayangnya ini pergi..”
“Nggak. Nggak mungkin. Ibu aja marah aku pergi, mana mungkin Ibu nangis”
“Mungkin aja. Kamu pernah berpikir gak, kenapa Ibu gak pernah izinin kamu pergi jauh?” aku menggeleng lagi “Karena dia gak mau jauh dari kamu. Karena dia mau kamu selalu menemaninya...” lanjut Enja. Aku menatapnya dalam, Enja yang tengah tersenyum. “Do’a Ibu akan selalu menyertai kamu..” dia tersenyum. “yaudah, berangkat gih.. ntar ketinggalan bus..”
Aku menghela napas panjang. Menatapnya lembut “ya, aku berangkat ya..”. Kini aku yang tersenyum pada Enja. “terimakasih banyak ya, kamu selalu support aku..” lanjutku. Dia membalas senyumku, lalu mencium tanganku. Ayah yang turut menghantarku ikut tersenyum. Aku mencium tangannya, lalu ia memelukku. Tanda perpisahan. Aku beranjak naik ke bus, duduk di kursiku, menatap Ayah dan Enja dari jendela. Melambaikan tangan, dan bus pun berangkat. Enja.. terimakasih..
Empat bulan berlalu, ini akhir November. Kubuka jendela kamarku, berdiri di tepinya, melempar pandang pada pucuk – pucuk pohon yang melambai gemulai. Angin berhembus lebih dingin dari biasanya. Aku merasa bebas disini, bebas tanpa semua tekanan Ibu, tanpa proteksi. Tidak ada lagi rasa sesak di dadaku, rasa tercekal di leherku, tak ada lagi perasaan terbelenggu dan pedihnya tidak dianggap sama sekali. Seperti duniaku lebih damai tanpa Ibu. Apa aku benci Ibu? Tidak, tidak mungkin aku membenci seorang yang telah mengandungku, melahirkanku, mempertahankanku sekuat tenaganya agar Ayah tak bisa merebutku. Karena jika itu terjadi, entah apa jadinya aku saat ini. Mungkin aku akan hidup seperti Ayah kandungku, mengikuti jalan Ayah yang hobi berjudi. Ibu yang mendidikku, membentuk pribadiku menjadi kuat, menjadi tegar, menguatkan imanku. Menjadikan aku sosok yang terbaik, meski ia selalu melukis hariku dengan pelangi amarahnya, tapi aku percaya itu adalah bentuk kasih sayangnya. Enja membuatku percaya akan kasih sayang Ibu. ‘cinta itu tidak harus diisi dengan hal – hal indah..’ itu kata Enja. Di sini aku menemukan lebih banyak pengalaman. Berada di sini membuatku merindukan semuanya, membuatku mencintai semuanya lebih dalam lagi.
Handphoneku berdering, Ayah meneleponku. Kudengar suara panik Ayah dari seberang sana, tentang Ibu yang tengah menjalani masa sulitnya, dengan tak henti menyebut nama ‘Atalla’, hingga ia tak bisa menyebutnya lagi. Sejak hampir dua minggu lalu Ibu dirawat di rumah sakit. Dan pagi ini, kondisi Ibu kritis. Aku berusaha menenangkan Ayah, dan menenangkan batinku. Setelah telepon Ayah terputus, segera kuhubungi kampusku, memberi kabar bahwa aku tidak bisa hadir untuk sementara waktu. Aku segera berkemas, berpamitan pada Ibu kost dan segera menuju stasiun. Aku pulang menemui Ibu.
Aku berlari menyusuri lorong rumah sakit tempat Ibu dirawat, mengganggap lorong sempit itu wilAyah kekuasaanku hingga aku berlari tanpa memperhatikan sekelilingku. Juga sosok yang terbaring di atas tempat tidur sumah sakit itu. Sosok yang baru saja berlalu disisiku, berselimut kain putih disekujur tubuhnya. Sosok yang diiringi Ayah dan Qalila. Sosok Ibunda.
Untuk sepersekian detik mataku terpaku menatap kosong. Dadaku seperti dihantam godam yang meremukkan belulangku, rasa lemas menggerayangiku, melumpuhkanku yang kemudian jatuh lunglai ke lantai koridor. Aku membiarkan airmataku menetes, membiarkannya merayap pelan di pipiku. Pelan lalu cepat dan semakin cepat, dan dengan bodohnya bibirku menyunggingkan senyum laknat, lalu aku mulai tertawa menggelikan. Entah apa yang kutertawakan. Kebodohankukah? Atau kematian Ibu?
Kusandarkan bahuku di dinding samping jenazah Ibu, mungkinkah aku ingin menemani Ibu di ruang jenazah yang terasa mencekikku ini? Aku hanya diam disini, sesekali tersenyum atau menangis seperti bocah konyol, aku tak tergerak sedikitpun untuk menyingkap kain yang menutupi tubuh dan wajah Ibu untuk sekedar mengecup kening dan pipinya. Apakah ini yang biasa dilakukan seorang anak yang ditinggal mati Ibunya? Atau aku sudah gila?
Qalila tak henti menangis, aku tak bisa mengerti perasaannya, padahal kami sama – sama kehilangan Ibu. Bendera kuning dikibarkan, orang – orang mulai memasuki halaman rumah kami, turut berbelasungkawa, mencium Qalila, menyalami Ayah, dan memelukku. Beberapa mengatakan ‘anak laki – laki harus tegar’ seraya menepuk pundakku. Aku semakin merasa bodoh.
Keranda mulai diangkat, berjalan menuju pemakaman. Aku mengiringinya. Di sana liang sudah rapi digali, bumi siap menerima kembalinya Ibu.
Jenazah terbungkus kafan dibaringkan lembut di dasar liang lahat. Kali ini isak tangis yang menyertainya. Tapi bukan isak tangisku, tak sebutirpun tetes air mata yang jatuh di pipiku. Entah mengapa, bukankah seharusnya aku juga bersedih seperti mereka? Seperti Qalila, juga seperti Enja.
Aku tertunduk di samping pusara Ibu, Ayah melepas ikatan kafan Ibu, menampakkan wajah cantik Ibu. Tanah pertama mulai di jatuhkan, perlukah aku menangis?
Enja sedari tadi berdiri di sampingku menggenggam jemariku erat. Dia menangis, melihat Ibu, melihat aku. Aku eratkan genggaman itu, mengisyaratkan agar ia kuat dan berhenti menangis.
Bunga ditaburkan di pusaranya, Ayah mengelus nisan Ibu, menangis di sana. Lalu aku? Aku tetap berdiri dan diam, juga tetap menggenggam tangan Enja. Lama sekali, dan air langit mulai basahi tanah pemakaman, mengusir manusia – manusia untuk beranjak dari sana dan mereka menurutinya. Menyisakan aku dan Enja.
Aku menatap langit, merasakan rintiknya membasahi jiwaku. Mengenang segala hal yang berlalu bersama Ibu, yang melayang di anganku hanya amarah, sinisme, diiringi hilangnya kasih sayang Ibu. Semua itu bagaikan gulungan klise film lama yang kembali diputar. Lalu nama Ibu yang terukir indah di batu nisan, haruskah aku menangis? Menangispun tak akan ada yang melihatku. Hujan akan menghapusnya. Mengapa sempat terpikir bahwa hidupku lebih damai tanpa Ibu? Apa aku benar – benar benci Ibu? Sekali lagi kutatap lekat – lekat nisan Ibu. Untuk yang kesekian kalinya aku tertawa. “hahaha... Ibu, apa aku harus menangis?” Ibu tetap diam. “Ibu jawab aku, haruskah aku berduka atas kepergianmu? Atau aku berbahagia karena kini engkau sudah tiada dan tak akan hidup kembali..” ah, rasanya aku menangis. “maaf Ibu.. Aku terlalu pengecut untuk mengatakan betapa aku mencintaimu..” Enja berusaha menatapku, wajahku yang basah bukan karena hujan, tapi karena airmata. Ia menggenggam jemariku semakin erat, samar kudengar bisikan bergetar di telingaku. “wahai putraku tercinta, Atalla ku sayang, Ibu sayang Atalla..”
~fin~


Augita Prayitno
Bandar Lampung, Agustus 2010.

Kamis, 07 Oktober 2010

do not remember it.
please my mind.. do not remember it!

cause everytime you remember it, the heart will feel so bad.
dont remember it.
although you know that's impossible to forget it.
dont remember it, the eyes too tired to cry.
please dont remember it.

Rabu, 06 Oktober 2010

kalo begini terus otakku bisa overload..
tadi pagi refresh nya gagal.
defragment juga gak berfungsi..
masa mau di restore?
gak ada software install ulangnya juga..
...
astaghfirullah.. jadi beban pikiran semua..
tenang au.. tenang..

*butuh teman bicara... T.T

Selasa, 05 Oktober 2010

Dear GOD

Dear GOD - Avenge Sevenfold

A lonely road crossed another cold state line
Miles away from those I love, purpose hard to find
While I recall all the words you spoke to me
Can't help but wish that I was there
Back where I'd love to be, oh yeah

Dear God, the only thing I ask of You
Is to hold her when I'm not around, when I'm much too far away
We all need that person who can be true to you
But I left her when I found her and now I wish I'd stayed
Cause I'm lonely and I'm tired
I'm missing you again, oh no, once again

There's nothing here for me on this barren road
There's no one here while the city sleeps and all the shops are closed
Can't help but think of the times I've had with you
Pictures and some memories will have to help me through, oh yeah

Dear God, the only thing I ask of You
Is to hold her when I'm not around, when I'm much too far away
We all need that person who can be true to you
I left her when I found her and now I wish I'd stayed
?Cause I'm lonely and I'm tired
I'm missing you again, oh no, once again

Well, some search never finding a way
Before long they waste away
I found you, something told me to stay
I gave in to selfish ways
And how I miss someone to hold when hope begins to fade

A lonely road crossed another cold state line
Miles away from those I love, purpose hard to find

Dear God, the only thing I ask of You
Is to hold her when I'm not around, when I'm much too far away
We all need the person who can be true to you
I left her when I found her and now I wish I'd stayed
?Cause I'm lonely and I'm tired, I'm missing you again, oh no, once again
dear.. kawan

ini aku kawanmu
haha. jangan heran begitu, mungkin kamu gak pernah sadar akan keberadaanku
tapu kita sering ketemu kok
terutama kalau kami lagi sedih.
kamu tau gak, aku adalah orang yang menyeka airmata kamu tiap kali kamu menangis.
lalu akau buatkamu tersenyum ceria kembali.

cuma aku yang tau tentang perasaan kamu yang sebenarnya.
yang gak pernah mau kamu tunjukkan ke orang lain.

cuma aku yang ada waktu kamu tersakiti, aku yang menahan kamu supaya kamu gak nangis
aku yang selalu berusaha supaya senyuman manis itu selalu tersungging di bibirmu.

yah.. kamu memang gak sadar.
tiap kamu sedih, tiap kamu ketawa, bahkan tiap kamu merasa bodoh.. aku ada di samping kamu. tepat di sisi kamu untuk merasakan hal yang sama denganmu.

cuma aku, cuma aku yang bisa melakukan hal terbaik buat kamu, melakukan hal yang gak bisa dilakukan orang lain buat kamu.

hahha..
duh, kamu makin bingung yah.

yaudah deh, daripada kamu makin bingung dan nanti malah ninggalin aku, lebih baik aku perkenalkan diriku deh.
eh, ada lagi yang masti yang kayanya harus kamu inget deh, meski kamu punya niat ninggalin aku, aku gak akan pernah sesaatpun ninggalin kamu.

aku ini, Hatimu.. :)

Minggu, 03 Oktober 2010

rasanya mau nangis.
tapi buat apa?
kenapa juga harus nangis?

lupakan, lupakan saja.
inget, kita gak bisa maksa.. gak bisa dan gak boleh.

ada 3 sahabat
2 cewek dan 1 cowok.
ce 1 = A
ce 2 = C
co = B

suatu hari si C patah hati..
otomasis A dan B sebagai sahabat datengin dia.

haha. lanjutkan sendiri