“Cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya,tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat keatas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja ,hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya,serta mulut yang akan selalu berdoa”.

(Donny Dhirgantoro - 5 cm)

mar gheall orm

Foto saya
Bandar Lampung, Lampung, Indonesia
kalo lo bilang gue bisa terbang, gue yakin lo bisa menghilang!

Rabu, 04 Agustus 2010

Lebih Cerah dari Bintang

ini cerpen juara 2 FLS2N propinsi 2008
dg predikat 'cerpenis muda berbakat 2008'

From Author :
disini saya masih amatir..maaf ya kalau agak aneh ceritanya.
hanya bagi yang ingin membaca, dan jangan tertawa...









LEBIH CERAH DARI BINTANG




“temukan cahaya dalam hatimu sendiri”


Arrasha Naila Aqielah
Bandar Lampung, 3 Juni 2008











Serambi Mekah , 2006 Seperti hari kemarin, senja ini aku kembali bertandang ke pantai Lokhnga, menanti sang surya kembali ke peraduannya. Sudah hampir seminggu aku berada di bumi Aceh, menyelesaikan tesist untuk kelulusanku. Aku, Luna. Mahasiswi salah satu universitas negeri di Jakarta, fakultas ilmu sosial masyarakat. Kedua orang tuaku pengusaha dan aku anak tunggal. Banyak hal harus kulakukan agar dapat berbaur dengan masyarakat di sini. Mulai dari penampilanku yang serba modern, kini berubah menjadi sederhana dengan busana selayaknya wanita muslimah. Cara berbicara, caraku berjalan, hingga bagaimana aku bersikap dengan segala norma Islam yang sangat kuat.
Aku suka laut, aku cinta saat – saat matahari terbenam di pantai ini, satu hal yang membuatku penasaran, gadis itu. Setiap hari, bukan hanya saat senja, aku selalu melihatnya di pantai ini. Ia selalu berdiri di bibir pantai, sinar wajahnya memancarkan kesedihan yang teramat dalam, mengiris hati siapapun yang memandangnya. Sayup – sayup aku mendengar alunan suara merdu nan lembut mendayu lemah dari gadis itu, aku tak mengenal lagu itu, namun entah apa sebab, air mataku mengalir mengikuti alunannya. Dan aku tak dapat melangkahkan hatiku untuk menyapa gadis itu. Azan maghrib menggema di seluruh penjuru mata angin, saatnya burung – burung camar kembali ke sarangnya, saatnya aku pulang. Namun langkah demi langkah aku menjauh dari pantai, gadis itu tetap tak bergeming dari posisinya.
Saat aku datang ke desa Lampu’u ini, aku dapat mencium aroma air laut yang tak bisa ku jumpai di Jakarta. Desiran dingin angin yang membawa uap air laut terasa lengket di kulitku. Sesekali, aku melihat warga yang tengah menjemur kopra (kelapa cungkil) di pekarangan rumah mereka. Pemandangan yang masih jelas terlihat bahkan saat kupejamkan kedua mataku.
Di sini, aku bangun dan tidur di rumah temanku, Nishrina, yang memang berasal dari Aceh. Ia teman kuliahku di fakultas yang sama, kami juga bersama – sama mengadakan pengamatan di desa ini. Keluarga Nishrina menyambutku dengan senyum hangat yang ramah.
Ayah Nishrina, Bapak Hasbi, adalah seorang nelayan. Aku memanggil beliau ayah, sebagimana masyarakat lain memanggil orang yang lebih tua. Ibu Nishrina sangat cantik, Aisyah namanya, beliau membantu suaminya di pantai, menjemur dan mengasini ikan hasil tangkapan. Aku memanggilnya Umi. Selalu, seperti pagi ini. Pagi sekali, saat Azan subuh sayup – sayup terdengar di telingaku, Nishrina memecah mimpiku. “Lun, ayo bangun. Salat subuh dulu, lalu akan ku ajak kau menemui anak – anak di panti asuhan”. Aku segera beranjak dari ranjangku meski rasa kantuk masih merangkulku, mengambil air wudhu, dan salat berjamaah di mushola kecil di pinggir pantai bersama Nishrina dan masyarakat lain, sudah menjadi tradisi. Setelah sarapan pagi dengan kue Timpan (terbuat dari tepung ketan dan kelapa ada gula merah didalamnya), aku dan Nishrina meninggalkan rumah menuju panti asuhan. Saat kecil, Nishrina sering bermain bersama anak – anak panti. Rona bahagia terpancar dari setiap wajah di panti itu. Sudah lama waktu berselang hingga kini mereka dapat bertemu lagi. Banyak teman kecil Nishrina yang telah tiada. Mereka menjadi korban dari musibah gempa dan tsunami 2 tahun lalu. Desa ini juga, Nishrina mengatakan bahwa sejak hari itu, sudah banyak yang berubah dari desa ini. Aku tahu, hati Nishrina pasti sangat perih. Namun di sisa – sisa hatinya, ia bersyukur karena orang tuanya selamat dari gulungan ombak raksasa itu. Tiba – tiba Nishrina angkat bicara “Mak, bagaimana dengan Najwa? Dia masih di sini ‘kan, Mak?” Ibu penjaga panti tersenyum simpul “Ya, nak tunuk. Najwa masih tinggal di panti. Najwa selamat dari peristiwa itu.” Tentu saja, raut wajah Nishrina kembali bersinar. “Tapi—” kata – kata ibu itu terputus saat seorang gadis keluar dari dalam kamarnya. Nishrina seakan tak percaya.“Assalamualaikum ya, Najwa! Ini aku, Najwa. Aku Nishrina! Antum masih ingat ana kan Najwa?!” Nishrina berlari dan memeluk erat gadis itu. Sesaat kemudian aku baru tersadar, Najwa adalah gadis yang selalu kulihat di pantai Lokhnga.
Ada yang aneh dengannya, ia sama sekali tidak bereaksi, ia tampak kosong. Atau... dia buta? “Mak, maaf, saya lancang. Apa Najwa mengalami kebutaan?” tanyaku pada penjaga panti itu. Beliau tertunduk dan menjawab dengan nada lirih “Antum benar. Najwa mengalami kebutaan total. Saat ia masih kecil, ayahnya tewas tertembak pasukan GAM, ibunya juga menjadi korban musibah tsunami 2 tahun lalu. Sekarang ia tak punya siapa – siapa lagi”
“Saya sering melihat Najwa di Lokhnga, Mak. Mengapa ia pergi ke sana? Pada logikanya, seharusnya ia akan trauma pada air dan pantai?”
Aku sangat ingin tahu. Melihat Najwa yang tak bereaksi, Nishrina mulai meneteskan air mata “Luna, Mak juga tak tahu apa yang nak Najwa lakukan di pantai. Dulu, sebulan setelah tsunami, Najwa di kurung warga di kamarnya karena dianggap gila” ujar ibu itu padaku. Yang benar saja? “Afwan, Mak. Tapi, bukankah hal itu tidak manusiawi? Memang, saya juga pernah mendengar berita seperti itu di televisi , tapi—” Nishrina menghentikan ucapanku. “Mak, mereka setega itu pada Najwa? Kenapa Mak tak melarangnya? Mak tak sayang pada Najwa? Mak tega siksa Najwa?” Nishrina begitu terkejut mendengar cerita Mak. “Nish, jujur Mak tak tega-lah melihat Najwa tersiksa macam itu. Namun Mak bisa buat apa? Warga tak suka Najwa ada di lingkungan mereka. Mengganggu katanya. Kemudian orang tua antum mengajak Mak untuk datang ke rumah kepala desa. Ayah antum minta agar Najwa dikeluarkan, karena Najwa tak pernah mengganggu lingkungan. Najwa hanya tak bisa percaya kalau ia sudah tak punya orang tua lagi. Sehingga ia sering melamun dan tampak bagai tak waras. Ternyata kepala desa pun sebenarnya tak tahu tentang itu. Tak ada satu pun warga yang melapor pada kepala desa. Mereka tak berani karena merekamain hakim sendiri. Mereka diprovokatori supaya mengurung Najwa. Hari esoknya kepala desa musyawarah dengan warga, maka Najwa pun di bebaskan.”
“Siapa yang memprovokatorinya, Mak? Mak kenal orangnya?” tanyaku penasaran. “Ya, nak. Djalil pelakunya” jawab Mak. “Astahgfirullah! Allah pasti menghukum orang berdosa seperti Djalil!” sambung Nishrina kesal seraya menyeka air matanya. Kemudian, Aku dan Nishrina membawa Najwa ke pantai.
Kami mengajaknya mengobrol. Pada awalnya Najwa tetap tak berekasi, tapi suatu percakapan membuatnya bicara. “Nish, kamu tahu apa arti namaku?” tanyaku pada Nishrina.
“Ehm,.. ‘Luna’ artinya Bulan bukan?” jawab Nishrina. “Yup! Bener banget!” ujarku
“Sst! Jaga bicaramu, Lun. Disini tak boleh pakai bahasa seperti itu.” tegur Nishrina padaku “Astaghfirulllah, maaf, Nish. Jawabanmu tepat” Nishrina menatapku.
“Lun, kalau kamu, tahu arti namaku?” tanya Nishrina.
“Uhm.. apa ya? ‘Nishrina’ ?” aku terus berpikir, namun tak kami sangka, Najwa yang menjawabnya “’Nishrina’.. artinya Mawar Putih. Antum pernah mengatakannya pada ana, kan Nish?” Air mata Nishrina tak terbendung lagi, ia memeluk Najwa. “Kalian tahu, apa arti ‘Najwa’?” tanya Najwa pada kami. Aku menggeleng, sementara Nishrina terus menangis di pundak Najwa. Sesaat semua hening. Kami bertiga terdiam. Hanya ombak yang berbicara bersama desirannya. Angin yang berbicara dalam alunannya. Burung camar yang berbicara dengan kepakan sayap dan tatapan tajamnya. “Najwa artinya ‘Bintang’.” Ujar Najwa dengan tatapan lurus menerawang cakrawala. Najwa berdiri, beranjak dari bangku kayu di bawah pohon kelapa tempat kami melepas lelah. Ia melangkah menuju bibir pantai, seakan dia dapat melihat kemana kakinya melangkah. Di sana ia menyanyikan lagu yang selalu dilantunkannya pada setiap senja. Kami menghampirinya, menggenggam tangannya. “Umi yang beri nama itu” lanjut Najwa. Seasaat aku teringat akan orang tuaku, hingga azan zuhur memecah lamunan kami menjadi mozaik maya.
Seorang Nelayan menghampiri kami dengan jaring di pundaknya. “Mari sholat dulu, nak. Sudah masuk waktu zuhur” Ujar bapak itu pada kami dengan senyumannya yang ramah.
Setelah sholat zuhur, Nishrina dan Najwa kembali ke panti, dan aku pulang ke rumah Nishrina. “Assalamu’alikum, Ayah, Umi” salamku pada orang tua Nishrina. “Wa’alaikumsalam ya nak tunuk. Sudah pulang? Nish tak ikut bersama kau?” tanya Umi “Tidak, Umi. Nishrina ke panti, menghantar Najwa” Umi hanya tersenyum. Kulihat Umi tengah menumbuk beras di lesung dengan alu seperti palu raksasa yang diberi pengungkit dan digerakkan dengan kaki. Aku masuk ke kamarku. Membongkar tas, mencari telepon selulerku. Selama aku di sini, aku selalu menonaktifkannya, sebenarnya aku tak diperkenankan menggunakannya kecuali untuk hal yang sangat mendesak. Sekarang aku mengaktifkannya. Banyak pesan masuk, salah satunya dari Seran, teman lamaku. Tumben dia mengirmiku pesan, padahal kami sudah lama tidak berhubungan. Tak lama kemudian HP-ku berdering. “Seran?” aku mengangkatnya “Assalamu’alaikum, Seran?” sapaku “Woi! Lun! Kemana aja lo? Gue telepon kok gak pernah nyambung?” ujarnya dengan nada tinggi “Astaghfirullah, Seran. Jangan teriak begitu. Aku sekarang ada di Aceh. Menyelesaikan tesistku” jelasku padanya. “Sumpah! Gak salah denger gue? Orang macem lo ada di Aceh? Mimpi kali Gue ye? Gak asik dong di Aceh gak bisa ngejalanin rutinitas lo kayak biasa. Paling lo cuma ngaji, sholat, terus yah,.. gitu deh! Cape!” komentar Seran. “Seran! Kamu tidak boleh berbicara seperti itu! Kamu harus merasakannya dulu kemudian silahkan kamu berkomentar. Apa yang kamu katakan itu semuanya salah. Aku mendapatkan banyak pelajaran berharga disini”
“Ok, deh.. terserah lo! Cepet balik ke Jakarta biar lo gak tambah aneh! Dah!” ia memutuskan teleponnya. Aku terdiam. Merenungkan diriku sendiri. Dulu, sebelum mengenal Nishrina aku adalah gadis yang tidak tahu sopan santun, serampangan, berantakan dan bisa dibilang rusak. Namun setelah aku mengenal Nishrina, aku mulai berubah meskipun terkadang aku masih sering keluar malam, keluyuran ke berbagai tempat yang tidak jelas. Tetapi aku bukan lagi gadis berantakan.
Aku mulai mengikuti gaya hidup salah sejak aku mengenal Seran...
Aku menekan nomor telepon rumahku. “Assalamu’alikum” salamku. Dan ternyata yang menjawabnya adalah ibuku sendiri “Wa’alaikumsalam” “Ma, mama? Ini Luna, Ma. Mama apa kabar?” “Subhanallah, Luna. Mama dan Papa sehat. Kamu bagaimana?” “Alhamdulillah, Ma. Luna sehat. Luna mendapat banyak pelajaran berharga di sini. Terimakasih ya Ma, Mama telah mengirim Luna ke Aceh. Mama tidak ke kantor?” sesaat Mama diam “Tidak, sayang. Sekarang, cukup Papa yang bekerja. Mama mengurus rumah tangga. Dua hari yang lalu, keluarga kita mengalami musibah. Karena harus mengurusi bisnis, Mama mengendarai mobil sendiri ke Lembang. Padahal Papa sudah melarang mama, tetapi Mama tetap saja pergi. Di Tol Sentul, mobil Mama menabrak pagar pembatas badan jalan, Mama selamat, hanya
luka – luka sedikit” Mama terdiam “Ya, Allah, Ma...” Mama kemudian melanjutkannya. “Mungkin itu teguran, ya sayang. Sekarang Mama lebih menginginkan kepulanganmu. Cepat pulang ya sayang.” Aku menarik nafas panjang
“Luna juga sangat merindukan Mama. Luna janji, Luna akan secepatnya menyelesaikan testist Luna. Luna janji akan cepat pulang. Sudah dulu, ya Ma. Salam untuk papa. Assalamu’alaikum” “Ya, sayang. Wa’alaikumsalam”.
 

Senja ini, aku kembali datang ke pantai Lokhnga. Kali ini aku tidak sendiri, aku bersama Nishrina. Gadis yang selalu kulihat di bibir pantai setiap senja kini menghilang. Ia tak berdiri lagi disana, ia kini berdiri diantara Aku dan Nishrina, gadis itu, Najwa, kini bersinar cemerlang, seperti namanya, Najwa yang berarti ‘Bintang’ kini ia bersinar terang, secerah sinar bintang. Ia tak lagi menyanyikan lagu merdu dengan alunan mendayu sedih nan lemah. Kini ia melantunkan lagu merdu dengan semangat dan senyuman. Wajah Nishrina semakin cerah setelah Najwa kembali menjadi Najwa yang dulu. Najwa yang selalu tersenyum. Kini Nishrina benar – benar setangkai mawar putih yang suci nan indah. Dan aku, Luna akan menjadi Luna yang baru. Bukan Luna yang gelap seperti dulu, pengalaman, kehidupan dan hukuman telah merubah Luna. Sesuatu yang mengekang Luna menciptakan seberkas sinar terang di hati Luna. Pada akhirnya, Luna tersadar akan semuanya. Luna menyadari hari demi hari yang ia lalui terasa jauh lebih indah semenjak ia mengenal Nishrina dan Najwa. Mulai hari ini Luna, ‘bulan’ yang akan bersinar lebih terang dari sinar bintang, bulan yang secantik mawar putih.
Seandainya Seran di sini... Apa dia juga akan berubah?.....
……………………………………………………………………………………………………………………………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar